Nasional

Peran Perempuan Dalam Menghadapi Tanggap Bencana di Indonesia

×

Peran Perempuan Dalam Menghadapi Tanggap Bencana di Indonesia

Sebarkan artikel ini

M19NEWS.COM, Jakarta – Perempuan mempunyai peran penting dalam setiap tahapan penanggulangan bencana mulai dari prabencana, saat tanggap darurat hingga masa pemulihan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berupaya mewujudkan masyarakat tangguh yang melibatkan perempuan didalamnya.

Dikutip dari laman resmi BNPB, kelompok perempuan harus mendapatkan kesempatan untuk memperoleh kesetaraan akses, kapabilitas, sumber daya, dan peluang yang setara.

Karena perempuan memiliki kemungkinan berhadapan dengan ancaman bencana yang lebih besar.

Berdasarkan kajian Oxfam, setiap terjadi bencana alam, nonalam dan bahkan konflik sosial terdapat 60 sampai dengan 70 persen korban adalah perempuan dan anak serta lanjut usia, termasuk di dalamnya kelompok disabilitas.

Hal tersebut disampaikan Deputi Pencegahan BNPB Prasinta Dewi pada webinar, Jumat, 4 Maret 2022.

“Perempuan dan anak-anak berisiko meninggal 14 kali lebih besar daripada pria dewasa,” ujar Prasinta mengutip Kristina Peterson dalam Gender Issues in Disaster Responses.

Minimnya akses informasi dan keterlibatan perempuan dalam sosialisasi kebencanaan di tingkat dusun dan desa menjadi salah satu penyebab tingginya angka korban akibat kejadian bencana.

Ketidakhadiran perempuan dalam kegiatan pendidikan bencana, sosialisasi, penyuluhan, latihan atau simulasi kebencanaan membuat pengetahuan yang terbatas soal mengenal gejala alam dan teknik penyelamatan diri yang membawa konsekuensi perempuan lebih rentan menjadi korban bencana.

“Pada banyak kasus, perempuan sulit menyelamatkan diri saat bencana terjadi karena dihadapkan dengan berbagai macam situasi domestik atau rumah tangga,” ujarnya pada webinar bertajuk Partisipasi dan Kepemimpinan Perempuan Lokal dalam Manajemen Penanggulangan Bencana

Menurut Prasinta, kondisi itu terjadi karena perempuan dalam pandangan sosial masyarakat yang menempatkan dirinya di wilayah domestik sehingga berdampak pada minimnya akses sumber daya, informasi, mobilitas individu jaminan tempat tinggal dan pekerjaan.

“Dengan demikian, bencana dan kerentanan yang dihadapi bukan terbentuk secara natural, tetapi dikonstruksikan secara sosial ataupun budaya,” ujar Prasinta.

Lebih lanjut Prasinta menjelaskan, banyak kita temukan para korban bencana dari kaum perempuan dalam posisi berada dekat dengan anak-anaknya atau berada di samping orang tua (lansia).

Perempuan juga sering kali abai terhadap keselamatan dirinya karena ingin melindungi anak-anak dan keluarganya.

“Hal ini disebabkan karena naluri perempuan yang ingin melindungi keluarga dan anak-anaknya seringkali membuat mereka mengabaikan keselamatan diri sendiri sehingga kemampuan dirinya untuk melakukan langkah-langkah kesiapsiagaan dan penyelamatan diri menjadi berkurang. Artinya secara kodrat perempuan itu selalu ingin melindungi anak-anak dan anggota keluarga lainnya,” jelasnya.

Untuk itu, diperlukan ragam kegiatan pemberdayaan perempuan agar bisa mengurangi risiko bencana dan strategi penanganan bencana secara holistik dengan tidak mengenyampingkan responsif gender yang berbasis kepada hak korban, sehingga jumlah korban dapat dicegah atau dikurangi dan hak-hak korban jiwa maupun korban selamat juga terlindungi.

Penguatan kapasitas kelompok perempuan mutlak dilakukan. Upaya Penguatan kapasitas akan meminimalkan risiko bencana akibat ancaman yang dihadapi.

“Ketika perempuan secara individu ataupun kelembagaan memiliki kapasitas, maka tingkat ketahanan atau resiliensi merekapun akan meningkat,” kata Prasinta.

(Marjanih)
Sumber : bnpb.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *